Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) resmi mengeluarkan 10 poin rekomendasi penting terkait dengan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Rekomendasi ini menyoroti perlunya penguatan perlindungan hak asasi manusia dalam proses hukum, serta peningkatan akuntabilitas aparat penegak hukum.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Atnike Nova Sigiro, menyampaikan bahwa rekomendasi pertama menitikberatkan pada perlunya pengawasan ketat terhadap kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang luas.
“Hal ini untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban. Selain itu, harus ada pembatasan waktu dalam proses penyidikan dan penyelidikan,” kata Atnike dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Rekomendasi kedua menegaskan bahwa penggunaan upaya paksa harus dikontrol dengan indikator yang ketat dan transparan. Komnas HAM juga mendorong agar pihak yang merasa haknya dirugikan diberi akses untuk mengajukan keberatan.
“Baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan,” lanjut Atnike.
Selanjutnya, pada rekomendasi ketiga, Komnas HAM menyoroti pentingnya reformulasi mekanisme praperadilan agar tidak hanya memeriksa aspek formil, tetapi juga substantif dalam proses penyidikan dan penyelidikan.
“Serta masa sidang praperadilan harus dilakukan dalam 14 hari kerja dan perkara pokok belum bisa dilimpahkan sebelum praperadilan diputuskan,” tegasnya.
Poin keempat merekomendasikan agar penerapan keadilan restoratif disetujui oleh korban dan ditetapkan oleh pengadilan. Komnas HAM juga menyarankan agar penyidik tidak berperan sebagai mediator.Hal ini dianggap krusial untuk mencegah transaksi tidak adil, khususnya bagi korban yang memiliki keterbatasan ekonomi dan akses hukum.
Pada rekomendasi kelima, Komnas HAM meminta agar RUU KUHAP diselaraskan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, guna memastikan hak semua pihak terlindungi – termasuk tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban.
Rekomendasi keenam menekankan pentingnya pengakuan terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat adat (living law) dalam proses hukum acara pidana.
“Perhatian juga harus diberikan kepada kelompok masyarakat adat. Dalam pengaturan KUHAP, harus memperhatikan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau living law,” imbuh Atnike.
Poin ketujuh menyentuh aspek bantuan hukum. Komnas HAM mengusulkan agar bantuan hukum tidak hanya diberikan kepada tersangka dengan ancaman pidana berat, tapi juga mereka yang menghadapi hukuman di bawah lima tahun. Selain itu, korban harus memperoleh bantuan sejak tahap penyelidikan.
Dalam rekomendasi kedelapan, Komnas HAM menilai bahwa jangka waktu pengajuan banding perlu diperpanjang untuk memberi kesempatan yang adil bagi terdakwa atau kuasa hukumnya.
Rekomendasi kesembilan mengusulkan agar RUU KUHAP mencakup mekanisme pengujian admisibilitas alat bukti, untuk memastikan bukti diperoleh secara sah dan etis.Terakhir, pada poin kesepuluh, Komnas HAM menekankan perlunya kejelasan dalam ketentuan koneksitas, khususnya dalam menentukan “titik berat kerugian” sebagai dasar untuk menentukan jenis perkara.
Terakhir, pada poin kesepuluh, Komnas HAM menekankan perlunya kejelasan dalam ketentuan koneksitas, khususnya dalam menentukan “titik berat kerugian” sebagai dasar untuk menentukan jenis perkara.
“Komnas HAM berharap rekomendasi ini dapat menjadi bahan pembahasan dan pertimbangan oleh Kementerian Hukum bersama DPR. Hasil kajian ini juga akan segera diserahkan kepada Komisi III DPR RI yang memiliki tanggung jawab dalam pembahasan RUU KUHAP,” tutup Atnike.
Rekomendasi ini telah secara resmi disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM pada Jumat, 20 Juni 2025. Dalam pertemuan tersebut, Atnike dan Ketua Tim Kajian RUU KUHAP Abdul Haris Semendawai diterima oleh Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, di Jakarta Selatan.